Kupandang langit begitu
indah, tanpa ada sedikitpun mendung disana. Burung-burung beterbangan seakan
menambah panorama keindahannya bersama dengan hembusan angin laut yang begitu
sejuk di udara yang sangat panas. Setiap kupandang seakan hati menjadi tenang.
Tetapi kehidupan tak seperti yang kulihat. Disini, malah sebaliknya. Bahkan
lebih parah.
“Ya Tuhan… kenapa
hidupku seperti ini? Aku bosan melihat laki-laki setiap malam. Aku capek
melayani para hidung belang. Kapan semua ini akan berakhir?.” Kulampiaskan
kegundahan hatiku pada air laut. Tak terasa air mataku jatuh, seakan kejadian
ini telah terlimpahkan. Dan pantai inilah yang menjadi saksi bisu kehidupanku.
Aku menejerit sekeras-kerasnya.
“Ya Tuhan… aku ingin
berhenti dari semua ini. Aku ingin taubat. Aku ingin bersamamu. Aku ingin
merasakan cinta suci-Mu. Kapankah itu datang?. Aku akan selalu menunggu
hidayah-Mu. Ya Tuhan pencipta alam yang Maha Pengasih dan Penyayang”
Tiit. Tiiit. Tiiit. Suara telepon
membuyarkan lamunanku.
“Halo…”
“Raya, nanti malam bisa
kan?.” Kata lelaki di balik telepon itu.
Suara laki-laki itu
selalu menghantuiku. Aku hanya terdiam dan kututup segera teleponnya. Kenapa
semua ini harus terulang? Kenapa disaat hatiku mulai dibuka, semua itu datang
lagi? Aku muak dengan semua ini! Rumah, mobil, uang, sudah kumiliki. Tapi
kenapa semua itu tidak menjadikanku tenang?. Aku selalu dibayangi rasa
bersalah. Ya Tuhan, aku juga ingin bahagia seperti orang-orang lainnya. Kenapa
aku harus hidup sendiri? Siapa orang tuaku? Apakah aku dilahirkan dari sebuah
batu? Kenapa aku tidak tahu asal-usulku?.
“Aaaaaaaa……” Air mata
ini semakin deras menetes. Dan jeritanku semakin keras.
Kenapa tak ada
seorangpun yang mengerti aku? Sejak kecil aku dirawat oleh nenek gelandangan.
Aku hidup dipinggir jalan. Pada saat usia 5 tahun nenek itu meninggal. Sebelum
meninggal ia menceritakan bahwa orangtuaku meninggal pada saat aku bayi dalam
kecelaakaan mobil dan kedua orangtua ku bernama Raihan dan Saidah. Tapi aku
tetap sedih karena aku tak pernah melihat wajah mereka berdua. Aku hidup
sebatang kara terlantung-lantung mencari uang hanya untuk sesuap
nasi selama masa sekolah hanya aku gunakan mengamen. Aku ingin seperti
anak-anak lain yang bisa sekolah sampai jenjang yang tinggi. Kapan masa itu
datang? Aku hanya bisa menunggu dan menunggu. Sampai pada usia 18 tahun ada
seorang perempuan menawariku pekerjaan yang mudah dan menghasilkan. Aku
tertarik dan saat itulah aku mulai terjerumus pada lembah kegelapan. Sekarang
sudah setahun aku menjalaninya. Semua itu tak membuatku bahagia. Dan suara
handphone membuyarkan fikiran masa laluku.
Tiiit. Tiiit. Tiiit.
Kubuang handphone
yang selalu mengganggu pikiranku. Aku berharap kenangan masa laluku ikut
terbuang bersama dengan handphone tersebut. lalu ku naiki mobil dengan
kecepatan yang sangat tinnggi.
“Aku benci semua ini…
aku ingin mengakhiri hidup ini Ya Rabb. Aku bosan hidup seperti ini terus.
Maafkan hambamu Ya Robb.” Ucapku dengan putus asa, seakan-akan aku berada dalam
laut yang terombang ambing oleh ombak.
Braaak… mobilku serasa menabrak sesuatu. Dengan sigap aku
langsung mengeremnya
Ckiiit…
“Aku menabrak siapa?.”
Aku keluar dari mobil,
wajahku pucat pasi. Kenapa engkau beri cobaan yang bertubi-tubi padaku Ya
Rabb, air mataku terus membasahi pipi. Ternyata dia seorang perempuan dan
kelihatannya sebaya denganku. Pelipisnya berdarah, dan ia tak sadarkan diri.
Tapi ada yang aneh, dari perempuan itu wajahnya begitu bercahaya apalagi dengan
menggunakan kerudung hijau dan busana serba putih yang menutupi tubuhnya. Perempuan
yang sangat berbeda denganku. Jangankan memakai kerudung, baju yang tertutup
saja tak pernah. Siapakah perempuan itu? Apakah dia malaikat yang dikirim
oleh Tuhan kepadaku? Banyak pertanyaan dalam hati, tapi aku tak
menggubrisnya. Aku membawa dia ke mobil. Entah kenapa, setiap kupandang
wajahnya hatiku begitu tenang. Tak lama kemudian gadis itu siuman, ia membuka
matanya perlahan-lahan.
“Aku dimana?.” Tanyanya
sambil memegang kepala
“Kamu gak papa?.” Aku
agak khawatir
“Aku gak papa, hanya
pusing sedikit.” Jawabnya pelan.
“Kamu siapa?” Tanyanya.
“Namaku Tsurayya,
panggil aja Raya. Maaf, aku tadi tidak sengaja menabrak kamu. Kalau nama kamu
siapa?.” Ku ulurkan tanganku.
“Ooh, gak papa.
Alhamdulillah lukanya juga gak parah. Namaku Hidayah.” Jawabnya dengan tersenyum.
“Ooh, salam kenal. Aku
antar kamu ke rumah sakit yah..” Pintaku.
“Ga usah, terimakasih.
Aku gak papa kok.”
“Ya udah aku antar kamu
pulang ya.. sebagai permintaan maaf. Oke?.” Paksaku.
“Ya..” Jawabnya pelan.
Dengan
adanya peristiwa ini, aku lupa dengan apa yang aku alami. Selama perjalanan,
aku bercanda dengan Hidayah. Tak pernah kurasakan suasana seperti ini. Aku
berharap mudah-mudahan ini adalah awal dari kebahagiaan.
“Belok
ke kanan apa ke kiri?.” Tanyaku agak celingukan karena tidak tau daerahnya.
“Kanan.” Jawab Hida singkat.
Dan entah kenapa
saat aku masuk ke gang rumahnya, kurasakan sesuatu yang menenangkan hatiku.
Apakah ini taman surga? Sepertinya ini sebuah Pondok Pesantren. Disini banyak
orang berpakaian serba putih dan tertutup, atau apakah mereka malaikat?.
“Makasih ya udah
anterin aku…. Kamu gak mampir dulu?.”
Tanya Hida membuyarkan lamunanku
“Gak usah, aku
langsung pulang aja. Aku sudah capek, kapan-kapan aja yah.” Jawabku langsung
meninggalkan tempat itu.
@@@
Semenjak mengenal Hida
hidupku menjadi berubah, aku jarang keluar malam. Tak pernah menggubris
telepon-telepon yang tidak penting. Aku sering bermain ke rumah Hida. Banyak
kutemukan kebahagiaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Aku hanya bisa
berandai-andai jadi bagian dari keluarganya. Rasanya tak ingin aku meninggalkan
keluarga ini. Dan tiba-tiba ibu Hida datang dan membuyarkan lamunanku.
“Roya, orangtuamu dari
mana?.” Tanyanya.
“Orangtua saya…” Aku
agak merunduk dan kuceritakan kehidupanku. Tak kurasa cairan bening itu menetes
dari bola matanya yang agak kebiruan. Dan ternyata Ibu Hida juga meneteskan air
matanya. Entah karena simpati denganku, atau karena tak menyangka dengan
kehidupan hitamku.
“Sekarang kamu tinggal
dengan siapa?.” Tanya ibu itu lagi.
“Saya tinggal sendiri”
Jawabku singkat.
“Saya ingin belajar
banyak disini bu, saya ingin berubah. Saya ingin seperti Hida.” Tambahku.
“Roya, umurmu berapa?.”
“19 tahun, bu.”
“Kamu ingin gak
menikah?.” Tanya ibu itu agak serius.
“Belum ada calonnya,
bu.” Aku tersenyum malu.
“Maukah kamu jadi
anakku roya?.”
“Saya sangat berharap,
ibu sudah saya anggap sebagai ibu saya sendiri. Tapi maksud ibu bagaimana?”
“Maksudku, maukah kamu
menikah dengan Muhammad anakku, dia kakak Hida yang sekarang sekolah di Yaman.”
“Tapi bu, saya bukan
perempuan seperti Hida. Saya perempuan berdosa. Apalagi saya masih belum bisa
apa-apa masalah agama. Saya masih ingin belajar ilmu agama, bu. Saya tidak
pantas menjadi istri dari anak ibu.”
“Tak apa, besok kalau
sudah menikah, kamu pasti akan bisa ilmu
agama. Kamu akan diajari Muhammad. Muhammad anak baik, ia pasti akan menerima
kamu apa adanya.” Katanya meneguhkanku
Ya robby, tak kuat aku
menahan air mata bahagia ini. Tak pernah kubayangkan engkau mengirim kebahagiaan yang begitu besar kepadaku.
@@@
Satu minggu telah
berlalu dengan cepat, kini aku telah sah menjadi istri Muhammad yang akan
membimbingku menuju jalan yang diridhai Allah. Dalam sujud, aku bersyukur atas
segala nikmat yang Engkau berikan. Hanya bulan dan jutaan bintang yang menjadi
saksi atas semua itu. Terimakasih ya Rabb. Terimakasih telah memberiku cinta
suci melalui jalan yang Engkau ridhai.
“Dek, udah malem, ayo
tidur”
“ Baik, mas.”
Post a Comment